Rabu, 11 November 2015

ANALISIS VEGETASI METODE GARIS MENYINGGUNG

LAPORAN TETAP PRAKTIKUM
EKOLOGI PERTANIAN

ANALISIS VEGETASI
METODE GARIS MENYINGGUNG










KHAYATU KHOIRI
05121407020











PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2013
I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Keanekaragaman spesies, ekosistem dan sumberdaya genetik semakin menurun pada tingkat yang membahayakan akibat kerusakan lingkungan. Perkiraan tingkat kepunahan spesies di seluruh dunia berkisar antara 100.000 setiap tahun, atau beberapa ratus setiap hari. Kepunahan akibat beberapa jenis tekanan dan kegiatan, terutama kerusakan habitat pada lingkungan alam yang kaya dengan keanekaragam hayati, seperti hutan hujan tropik dataran rendah. Bahkan dalam kurun waktu dua setengah abad yang akan datang diperkirakan sebanyak 25% kehidupan akan hilang dari permukaan bumi. Hal tersebut disebabkan oleh aktivitas manusia yang mengarah pada kerusakan habitat maupun pengalihan fungsi lahan. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan karena kita ketahui keanekaragaman hayati mempunyai peranan penting sebagai penyedia bahan makanan, obat-obatan dan berbagai komoditi lain penghasil devisa negara, juga berperan dalam melindungi sumber air, tanah serta berperan sebagai paru-paru dunia dan menjaga kestabilan lingkungan (Budiman, 2004).
Indonesia memiliki berbagai macam penggunaan lahan, mulai dari yang paling ekstensif misalnya agroforestri kompleks yang menyerupai hutan, hingga paling intensif seperti sistem pertanian semusim monokultur. Indonesia juga merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas (Heriyanto dan Garsetiasih, 2004). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 1994 menyatakan bahwa potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tersebut perlu dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat melalui upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga tercapai keseimbangan antara perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari.
Pohon memegang peranan yang sangat penting dalam komunitas hutan dan berfungsi sebagai penyangga kehidupan, baik dalam mencegah erosi, dan menjaga stabilitas iklim global. Pohon-pohon di pegunungan memiliki kondisi yang khas di mana pohon akan bertambah rendah atau kecil seiring dengan naiknya ketinggian dan memiliki keanekaragaman jenis yang bervariasi.
Hutan wisata alam Taman Eden Desa Sionggang Utara Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Toba Samosir, merupakan bagian dari hutan yang ada di Indonesia yang keberadaannya perlu mendapat perhatian dari semua lapisan masyarakat. Untuk itu, kiranya perlu dilakukan suatu penelitian analisis vegetasi pohon dan pendugaan karbon tersimpan yang terdapat di dalamnya.
Kepunahan keanekaragaman hayati sebagian besar karena ulah manusia. Kepunahan oleh alam, berdasarkan catatan para ahli hanya sekitar 9% dari seluruh keanekaragaman hayati yang ada dalam kurun waktu sejuta tahun. Saat ini, kepunahan keanekaragaman hayati di daerah tropis akibat ulah manusia mencapai 1.000 sampai 10.000 kali laju kepunahan yang terjadi secara alami (Alikodra dan Syaukani, 2004 dalam Widhiastuti, 2008). Untuk melestarikan keanekaragaman hayati di suatu ekosistem cara yang paling efektif adalah melestarikan komunitas hayati secara utuh. Bahkan para Ahli Biologi Konservasi mengatakan konservasi pada tingkat komunitas merupakan satusatunya cara yang efektif untuk melestarikan spesies. Hal ini terutama mengingat dalam situasi penangkaran, dan sumber pengetahuan yang kita miliki hanya dapat menyelamatkan sebagian kecil saja spesies yang ada di bumi (Widhiastuti, 2008).
Hutan pegunungan bagian bawah mempunyai fisiognomi yang menyerupai hutan, hanya pohon-pohonnya yang tumbuh lebih kecil. Begitu pula komposisinya juga agak berbeda. Pada ekosistem ini biasanya kaya akan jenis Orchidaceae dan Pteridophyta. Di sampinsg itu pada umumnya dihuni oleh berbagai jenis tetumbuhan antara lain dari famili: Anonaceae, Burseraceae, Bambosaceae, Dipterocarpaceae, Leguminoceae, Meliaceae, Sapindaceae,dan Sapotaceae.

b. Tujuan
Untuk Mengetahui komposisi jenis, peranan, penyebaran dan struktur dari suatu tipe vegetasi yg diamati.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Metode garis merupakan suatu metode yang menggunakan cuplikan berupa garis. Penggunaan metode ini pada vegetasi hutan sangat bergantung pada kompleksitas hutan tersebut. Dalam hal ini, apabila vegetasi sederhana maka garis yang digunakan akan semakin pendek. Untuk hutan, biasanya panjang garis yang digunakan sekitar 50 m-100 m. sedangkan untuk vegetasi semak belukar, garis yang digunakan cukup 5 m-10 m. Apabila metode ini digunakan pada vegetasi yang lebih sederhana, maka garis yang digunakan cukup 1 m.
Pada metode garis ini, system analisis melalui variable-variabel kerapatan, kerimbunan, dan frekuensi yang selanjutnya menentukan INP (indeks nilai penting) yang akan digunakan untuk memberi nama sebuah vegetasi. Kerapatan dinyatakan sebagai jumlah individu sejenis yang terlewati oleh garis. Kerimbunan ditentukan berdasar panjang garis yang tertutup oleh individu tumbuhan, dan dapat merupakan prosentase perbandingan panjang penutupan garis yang terlewat oleh individu tumbuhan terhadap garis yang dibuat. Frekuensi diperoleh berdasarkan kekerapan suatu spesies yang ditemukan pada setiap garis yang disebar.
Laju pemanasan di pegunungan tidak serupa laju pemanasan di dataran rendah. Pantulan panas dari permukaan bumi lebih kuat digunung oleh karena tekanan udara yang rendah. Laju penurunan suhu pada umumnya sekitar 0,6o C setiap penambahan ketinggian sebesar 100 meter, tetapi hal ini berbeda-beda tergantung kepada tempat, musim, waktu, kandungan uap air dalam udara dan lain sebagainya (Damanik et al, 1992).  Pada umumnya, curah hujan pada lereng bawah pegunungan itu lebih lebat ketimbang pada lokasi di sekelilingnya. Penyebab keadaan ini adalah karena udara yang panas dari lokasi itu menjadi dingin pada waktu dipaksa naik mengikuti lereng pegunungan. Hal ini menyebabkan penurunan daya tambat air oleh udara, sehingga kelebihan air dalam udara itu membentuk awan yang menyebabkan hujan. Sampai suatu ketinggian tertentu terdapat kenaikan curah hujan pada lereng bukit, tetapi di atas ketinggian itu pengembunan uap air dari udara tidak cukup untuk membentuk banyak hujan. Sebagai akibat sebaran hujan itu, sering terdapat hutan yang lebih subur pada ketinggian rendah dan menengah ketimbang pada lokasi yang berbatasan (Ewusie, 1990). Banyak tumbuhan di tempat-tempat tinggi juga memperoleh kelembaban dari tetes-tetes air dari awan yang menempel pada daun dan batangnya. Karena persentase kejenuhan suatu massa udara meningkat bila suhu turun, kelembaban hutan di tempat-tempat yang tinggi relatife tinggi, terutama pada waktu malam (Mackinnon et al, 2000)
Pohon-pohon menjadi organisme dominan di hutan tropis, bentuk kehidupan pohon berpengaruh pada physiognomi umum, produksi dasar dan lingkaran keseluruhan dari komunitas. Banyak ciri-ciri pohon tropis berbeda dengan daerah lain mengingat terdapat ciri-ciri tertentu dan kebiasaan bercabang, dedaunan, buahbuahan dan sistem akar yang jarang dan tidak pernah dijumpai di bagian bumi lain. Untuk keperluan inventarisasi, pohon dibedakan menjadi stadium seedling, sapling, pole, dan pohon dewasa. Soerianegara dan Indrawan (1978)  membedakan sebagai berikut:
Seedling (semai) yaitu permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m.
Sapling (pancang, sapihan) yaitu permudaan yang tingginya 1,5 m dan lebih     sampai pohon-pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm.
Pole (tiang) yaitu pohon-pohon muda yang berdiameter 10 - 35 cm.
Pohon dewasa yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 35 cm yang diukur 1,3 meter dari permukaan tanah.
Sebagian besar hutan alam di Indonesia termasuk dalam hutan tropika basah Banyak para ahli yang mendiskripsi hutan tropika basah sebagai ekosistem spesifik, yang hanya dapat berdiri mantap dengan keterkaitan antara komponen penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh. Keterkaitan antara komponen penyusun ini memungkinkan bentuk struktur hutan tertentu yang dapat memberikan fungsi tertentu pula seperti stabilitas ekonomi, produktivitas biologis yang tinggi, siklus hidrologis yang memadai dan lain-lain.
Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999).  Hutan adalah suatu wilayah luas yang ditumbuhi pepohonan, termasuk juga tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan. Pohon merupakan bagian yang dominan diantara tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan. Berbeda letak dan kondisi suatu hutan, berbeda pula jenis dan komposisi pohon yang terdapat pada hutan tersebut. Sebagai contoh adalah hutan di daerah tropis memiliki jenis dan komposisi pohon yang berbeda dibandingkan dengan hutan pada daerah temprate. Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohon yang tinggi (arief 1994).
Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3,5 milliar ton karbon (Daniel, 1992).  Hutan hujan tropis merupakan ekosistem yang klimaks. Tumbuh-tumbuhan yang terdapat di dalam hutan ini tidak pernah menggugurkan daunnya secara serentak, kondisinya sangat bervariasi seperti ada yang sedang berbunga, ada yang sedang berbuah, ada yang dalam perkecambahan atau berada dalam tingkatan kehidupan sesuai dengan sifat atau kelakuan masing-masing jenis tumbuh-tumbuhan tersebut.
Hafild & Aniger (1984) hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk  dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (Keputusan Menteri Kehutanan RI, No.70/Kpts- II/2001). Hutan pegunungan adalah hutan yang tumbuh di daerah ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan air laut (Arief, 1994). Menurut Damanik et al, (1992) ketinggian rata-rata tempat dari berbagai tipe hutan pegunungan di Sumatera kira-kira adalah sebagai berikut:
1.      Daerah ketinggian 0 . 1.200 meter di atas permukaan laut, disebut dataran rendah
2.      Daerah ketinggian 1.200 . 2.100 meter di atas permukaan laut, disebut hutan pegunungan bagian bawah.
3.      Daerah ketinggian 2.100 . 3.000 meter di atas permukaan laut, disebut hutan pegunungan bagian atas.
4.      Daerah ketinggian di atas 3.000 meter diatas permukaan laut, disebut hutan subalpin.
Hutan basah dapat tersebar sangat luas dan sering kali sangat lebat pada lereng-lereng bagian bawah di gunung-gunung. Tipe vegetasi mintakat gunung lebih mirip dengan daerah iklim sedang, atau dengan kata lain lebih sesuai dengan hutan basah daerah iklim sedang (Ewusie, 1990). Hutan pegunungan bagian bawah mempunyai fisiognomi yang menyerupai hutan, hanya pohon-pohonnya yang tumbuh lebih kecil. Begitu pula komposisinya juga agak berbeda. Pada ekosistem ini biasanya kaya akan jenis Orchidaceae dan Pteridophyta. Di sampinsg itu pada umumnya dihuni oleh berbagai jenis tetumbuhan antara lain dari famili: Anonaceae, Burseraceae, Bambosaceae, Dipterocarpaceae, Leguminoceae, Meliaceae, Sapindaceae,dan Sapotaceae (Indrianto 2006).
Hutan pegunungan bagian atas merupakan ekosistem yang mempunyai fisiognomi tetumbuhannya tergantung pada ketinggian dan topografi habitatnya. Komposisi botanik hutan ini lebih menyerupai hutan di daerah iklim sedang. Pada habitat yang berbatu-batu ditumbuhi vegetasi yang berbentuk semak-semak rendah atau pohon-pohon kecil, kerdil atau bercabang rendah. Di samping itu ada kalanya dijumpai jenis pohon conifer atau jenis vegetasi berbunga.
Vegetasi merupakan unsur yang dominan yang mampu berfungsi sebagai pembentuk ruang, pengendalian suhu udara, memperbaiki kondisi tanah dan sebagainya. Vegetasi dapat menghadirkan estetika tertentu yang alamiah dari garis, bentuk, warna, dan tekstur yang ada dari tajuk, daun, batang, cabang, kulit batang, akar, bunga, buah maupun aroma yang ditimbulkan dari daun, bunga maupun buahnya, Kimball (2005) menyatakan bahwa hutan hujan tropis mencapai perkembangan sepenuhnya pada bagian belahan bumi sebelah barat dan mencapai perkembangan sepenuhnya di bagian tengah dan selatan,sangat beragam spesiesnya. Disana, jarang dijumpai dua pohon dari spesies yang sama tumbuh berdekatan.vegetasinya sedemikian rapat sehingga cahaya sangat sedikit yang sampai kedasarhutan.
Wilayah hutan hujan tropis mencakup ± 30% dari luas permukaan bumi dan terdapat mulai dari Amerika Selatan, bagian tengah dari benua Afrika, sebagian anak benua India, sebagian besar wilayah Asia Selatan dan wilayah Asia Tenggra, gugusan kepulauan di samudra Pasifik, dan sebagian kecil wilayah Australia. Pada umumnya wilayah hutan hujan tropis dicirikan oleh adanya 2 musim dengan perbedaan yang jelas, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Ciri lainnya adalah suhu dan kelembaban udara yang tinggi, demikian juga dengan curah hujan,
Menurut Soedjiran et all (1993) hutan hujan tropis (tropical rain forest) terdapat di daerah tropis yang basah dengan curah hujan yang tinggi dan tersebar sepanjang tahun, seperti di Amerika tengah dan selatan, Asia tenggara, Indonesia dan Australia timur laut. Dalam hutan ini pohon-pohonnya tinggi dan pada umumnya berdaun lebar dan selalu hijau, jumlah jenis besar. Sering terdapat paku-paku pohon, tanaman merambat berkayu liana yang sering dapat mencapai puncak pohon-pohon yang tinggi dan epifit. Hutan ini kaya akan jenis-jenis hewan invertebrata dan vertebrata.
Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan. Kegiatan analisis vegetasi pada dasarnya ada dua macam, yaitu metode dengan petak dan tanpa petak. Salah satu metode dengan petak yang banyak digunakan adalah kombinasi antara metode jalur (untuk risalah pohon) dengan metode garis petak (untuk risalah permudaan) dalam kegiatan-kegiatan penelitian di bidang ekologi hutan seperti halnya pada bidang-bidang ilmu lainnya yang bersangkut paut dengan Sumber Daya Alam (Latifah, 2005).
Dari segi floristis ekologis pengambilan sampling dengan cara “random sampling” hanya mungkin digunakan apabila lapangan dan vegetasinya homogen, misalnya padang rumput dan hutan tanaman. Pada umumnya untuk keperluan penelitian ekologi hutan lebih tepat dipakai “systematic sampling”, bahkan “purposive sampling” pun boleh digunakan pada keadaan tertentu.
Luas daerah contoh vegetasi yang akan diambil datanya sangat bervariasi untuk setiap bentuk vegetasi mulai dari 1 m2 sampai 100 m2.



III. PELAKSANAAN PRAKTIKUM
a. Waktu dan Tempat
Praktikum analisis vegetasi dengan metode garis menyinggung dilaksanakan pukul 12.30WIB – 14.20 WIB pada hari Selasa, tanggal 09 April 2013.
Praktikum ini dilaksanakan dilahan Sawit jurusan budidaya pertanian  Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Indralaya.

b. Alat dan Bahan      
Pada praktikum analisis vegetasi metoda kuadran dan study floristik ini
dibutuhkan alat dan bahan, yaitu : 1) sebuah komunitas tumbuhan tertentu sebagai objek praktikum 2) tali rafia 3) benang 4) meteran  5) alat tulis 6) perlengkapan pembuatan herbarium 7) patok tanda pembatas 8) buku-buku identifikasi 9) dll.

c. Cara Kerja
a. Terhadap tipe-tipe vegetasi  yang diamati yang didalamnya dibuat jalur-jalur transek. Jalur-jalur transek tersebut dimulai dari titik yang pada dasarnya ditentukan secara acak sistematika atau titik awal secara acak dan selanjutnya sistematik tetapi tidak didaerah Ekoton.
b. Jalur-jalur transek tersebut dibagi kedalam interval-interval. Setiap interval dapat dianggap sepadan dengan unit petak contoh. Daerah ini dianggap sebagai satuan terkecil analisis vegetasi
c. Individu yang tersinggung garis transek baik yang terletak diatas maupun dibawah garis tersebut merupakan jenis yang diamati dan dicatat datanya.
d. Data yang tercatat dari masing-masing individu itu adalah berupa pengukuran panjang transek yang terpotong dan lebar maksimum tajuk tumbuhan yang diproyeksikan kedalam transek.
e. Untuk individu yang terukur yang tidak dikenal dilapangan, maka harus diidentifikasi dilaboratorium. Untuk hal ini harus diambil contoh herbarium.
f. Data darei lapangan  disajikan kedalam :
1. Jumlah individu yang terhitung (N)
2. Jumlah panjang transek yang terpotong (I)
3. Jumlah banyak interval yang diduduki oleh suatu jenis terhadap keseluruhan     jumlah interval dalam penarikan contoh
4. Jumlah kebalikan dari maksimum lebar penutupan jalur transek ( ∑ 1/M )























IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. HASIL
Hari / Tanggal Jumlah Gulma Jenis Gulma Tinggi Gulma
Selasa, 9 April 2013 33 Senduduk 70 cm
5 Akasia 55 cm
7 Paku 75 cm
69 Teki-tekian 47 cm
1 Bludru 92 cm



b. PEMBAHASAN
Dari hasil pengamatan kelompok kami , kelompok V didapatkan pembahasan bahwa Metode garis merupakan suatu metode yang menggunakan cuplikan berupa garis. Penggunaan metode ini pada vegetasi hutan sangat bergantung pada kompleksitas hutan tersebut. Dalam hal ini, apabila vegetasi sederhana maka garis yang digunakan akan semakin pendek. Untuk hutan, biasanya panjang garis yang digunakan sekitar 50 m-100 m. sedangkan untuk vegetasi semak belukar, garis yang digunakan cukup 5 m-10 m. Apabila metode ini digunakan pada vegetasi yang lebih sederhana, maka garis yang digunakan cukup 1 m (Syafei, 1990). Pada metode garis ini, system analisis melalui variable-variabel kerapatan, kerimbunan, dan frekuensi yang selanjutnya menentukan INP (indeks nilai penting) yang akan digunakan untuk memberi nama sebuah vegetasi. Kerapatan dinyatakan sebagai jumlah individu sejenis yang terlewati oleh garis. Kerimbunan ditentukan berdasar panjang garis yang tertutup oleh individu tumbuhan, dan dapat merupakan prosentase perbandingan panjang penutupan garis yang terlewat oleh individu tumbuhan terhadap garis yang dibuat (Syafei, 1990). Frekuensi diperoleh berdasarkan kekerapan suatu spesies yang ditemukan pada setiap garis yang disebar (Rohman, 2001).
               Penarikan contoh (sampling) harus menggunakan metode sampling yang tepat, karena jika tidak hasil yang diperoleh akan bias. Ada beberapa metode sampling yang biasa dipelajari, yaitu, Metode Plot (Berpetak) Suatu metode yang berbentuk segi empat atau persegi (kuadrat) ataupun lingkaran. Biasanya digunakan untuk sampling tumbuhan darat, hewan sessile (menetap) atau bergerak lambat seperti hewan tanah dan hewan yang meliang. Untuk sampling tumbuhan terdapat dua cara penerapan metode plot, yaitu
a.       Metode Petak Tunggal, yaitu metode yang hanya satu petak sampling yangmewakili suatu areal hutan. Biasanya luas minimum ini ditetapkan dengan dar penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan jumlah spesies lebih     5 % atau 10 %.
b.      Metode Petak Ganda, yaitu pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan banyak petak contoh yang letaknya tersebar merata (sebaiknya secara sistematik). Ukuran berbeda-beda berdasarkan kelompok tumbuhan yang akan dianalisis. Perbandingan panjang dan lebar petak 2 : 1 merupakan alternatif terbaik daripada bentuk lain.
            Metode Transek (Jalur). Untuk vegetasi padang rumput penggunaan metode plot kurang praktis. Oleh karena itu digunakan metode transek, yang terdiri dari :
Line Intercept (Line Transect), yaitu suatu metode dengan cara menentukan dua titik sebagai pusat garis transek. Panjang garis transek dapat 10 m, 25 m, 50 m atau 100 m. Tebal garis transek biasanya 1 cm. Garis transek kemudian dibuat segmen-segmen yang panjangnya 1 m, 5 m atau 10 m. Selanjutnya dilakukan pencatatan, penghitungan dan pengukuran panjang penutupan semua spesies tumbuhan pada segmen-segmen tersebut.
a.       Belt Transect, yaitu suatu metode dengan cara mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut keadaan tanah, topografi dan elevasi. Transek dibuat memotong garis topografi dari tepi laut ke pedalaman, memotong sungai atau menaiki dan menuruni lereng pegunungan. Lebar transek 10 – 20 m dengan jarak antar transek 200 – 1000 m (tergantung intensitas yang dikehendaki). Untuk kelompok hutan yang luasnya 10.000 ha, intensitas yang digunakan 2 % dan hutan yang luasnya 1.000 Ha atau kurang intensitasnya 10 %.
b.      Strip Sensus, yaitu pada dasarnya sama dengan line transect hanya saja penerapannya ekologi vertebrata terestrial (daratan). Metode ini meliputi berjalan sepanjang garis transek dan mencatat spesies-spesies yang diamati di sepanjang garis transek tersebut. Data yang dicatat berupa indeks populasi (indeks kepadatan).
            Metode Kuadran pada umumnya dilakukan jika hanya vegetasi tingkat pohon saja yang menjadi bahan penelitian. Metode ini mudah dan lebih cepat digunakan untuk mengetahui komposisi, dominansi pohon dan menaksir volumenya.






V. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan mengenai Analisis Vegetasi Metode
Titik menyinggung dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ditemukan 18 jenis pohon yang termasuk dalam 12 famili dengan jumlah individu sebanyak 301 individu.
2. Struktur pohon pada lokasi penelitian didominasi oleh Gordonia sp.
3. Komposisi Pohon pada lokasi penelitian didominasi oleh Gordonia sp
4. Metoda kuadran adalah salah satu metode yang tidak menggunakan petak contoh (plotless).
5. Metoda ini sangat baik untuk menduga komunitas yang berbentuk pohon dan tihang, contoh vegetasi hutan.

b. Saran
Diharapkan dapat mengetahui pengertian tentang analisis vegetasi metoda garis menyinggung dan cara perlakuannya, diharapkan lebih memahami dalam praktikum ini. Diharapkan waktu yang digunakan dalam prakikum ini disesuaikan dengan keadaan mahasiswa praktikan.  Mengikuti praktikum ini hendaknya lebih sabar.










VI. DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 1994. Hutan: Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan. Jakarta:
           Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Damanik, J.S., J. Anwar., N. Hisyam., A. Whitten. 1992. Ekologi Ekosistem       jikaadaSumatera. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Daniel, T.W., J.A. Helms, F.S. Baker. 1992. Prinsip-Prinsip     jikaadaSilvinatural. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Ewusie, J.Y. 1990. Ekologi Tropika. Bandung: Penerbit ITB
Hafild & Aniger. 1984. Lingkungan Hidup di Hutan Hujan Tropika. Cet 1. Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara.







LAMPIRAN











Tidak ada komentar:

Posting Komentar